Surat Gembala Bulan Kebangsaan 2018 Keuskupan Purwokerto

Gereja Keuskupan Purwokerto Peduli terhadap Situasi Bangsa dan Negara.

Para Ibu dan Bapak, Suster, Bruder, Frater, Anak-anak, Remaja, dan Kaum Muda yang terkasih dalam Kristus,

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) telah mengeluarkan Nota Pastoral Tahun 2018 dengan judul, “Panggilan Gereja dalam Hidup Berbangsa : Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan.” Nota pastoral ini diterbitkan KWI sebagai tindak lanjut hari studi para Uskup, yang membahas situasi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini serta tugas perutusan Gereja untuk menyucikan dunia. Di tengah situasi dan kondisi bangsa dan negara yang memprihatinkan saat ini, Gereja Katolik harus semakin menghayati panggilannya untuk merajut kesatuan, mengupayakan keadilan dan perdamaian serta menjaga keutuhan keluarga bangsa Indonesia. Gereja Katolik harus tetap menjadi ‘Lumen Gentium’ di tengah kondisi bangsa yang tenunan kebhinekaannya tengah tercabik-cabik. Gereja Katolik tidak boleh berdiam diri menghadapi kondisi memprihatinkan yang mengancam keberlangsungan kehidupan bersama. Nota Pastoral ini mengajak seluruh umat Katolik dan masyarakat luas untuk semakin memahami gagasan dan makna Pancasila yang selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah.

Untuk menindaklanjuti seruan di dalam Nota Pastoral ini, Gereja Keuskupan Purwokerto, melalui Komisi Kerawam-nya, mencanangkan bulan Agustus tahun 2018 sebagai bulan kebangsaan. Penetapan ini dimaksudkan untuk meneguhkan keterlibatan umat Katolik di dalam berbagai kegiatan kebangsaan yang terjadi di semua lapisan, yakni dari tingkat RT/RW, desa atau kelurahan, bahkan sampai tingkat nasional. Dalam bulan Agustus ada banyak kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat untuk menyongsong dan merayakan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Selain itu, penetapan Bulan Kebangsaan juga bertujuan agar umat Katolik semakin memahami gagasan dan makna Pancasila serta mampu menghayatinya secara nyata; agar umat Katolik semakin terlibat aktif dalam merajut dan merawat kebhinekaan bangsa dan negara; agar umat Katolik semakin peduli terhadap kerpihatinan bangsa dan negara. Bukankah “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat saat ini adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan Gereja juga?”

Saat ini bangsa Indonesia menghadapi berbagai macam keprihatinan seperti: belum terkelolanya kekayaan alam dengan baik dan adil; rusaknya lingkungan hidup; kurang meratanya pembangunan sehingga terjadi arus urbanisasi, yang menimbulkan permasalahan sosial lain, seperti: konflik antar etnis, benturan budaya antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang, pelanggaran hak asasi, dan lain-lain. Keprihatinan lain yang semakin mencemaskan adalah terkoyaknya toleransi dan kerukunan umat beragama, masyarakat mengalami keterpecahan atau terkotak-kotak. Hal tersebut disebabkan oleh menguatnya eksklusivisme beragama, maraknya politik identitas, suburnya radikalisme-anti Pancasila. Kondisi ini semakin diperparah dengan penyalahgunaan teknologi informasi dan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan hoaks atau berita bohong. Selain itu, banyak orang juga merasa cemas dan kuatir dengan meningkatnya suhu politik pada tahun 2018-2019, yang mungkin akan mengangkat isu agama, ideologi sektarian, dan politik uang demi meraih kekuasaan.

Berbagai macam keprihatinan tersebut terjadi, karena banyak orang tidak lagi memelihara ingatan atas sejarah lahirnya Negara Kesatuan Repubulik Indonesia (NKRI) dan kurang memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila. Bahkan, Pancasila sebagai dasar NKRI sedang dirongrong dan akan diganti dengan ideologi lain. Gereja Katolik meyakini bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sifatnya universal dan selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, yang selama ini diperjuangkan oleh Gereja Keuskupan Purwokerto melalui kegiatan pastoralnya dalam berbagai bidang. Tegaknya Kerajaan Allah di dunia ini ditandai dengan terwujudnya masyarakat yang beriman, rukun, damai, adil, makmur, merdeka dan sejahtera. Nilai-nilai inilah yang juga kita temukan di dalam Pancasila. Dengan demikian, kesediaan Gereja Katolik untuk memahami dan mengamalkan Pancasila merupakan tindakan yang selaras dengan iman Katolik dan sekaligus merupakan kontribusi bagi kesatuan dan kejayaan bangsa.

Saudari-Saudara umat Katolik yang terkasih,

Sabda Tuhan yang kita dengarkan pada Minggu ini, membantu kita untuk memperdalam renungan kita tentang kepedulian Gereja Katolik terhadap situasi bangsa dan negara.

Bacaan Injil menceritakan kisah tentang peristiwa yang terjadi di atas bukit. Di sana Yesus memberi makan kepada lima ribu orang dengan membagi-bagi lima roti jelai dan dua ekor ikan. Semua orang dapat makan sampai kenyang; bahkan sisa makanan terkumpul sampai dua belas bakul penuh.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa kepedulian dan keterlibatan aktif para murid terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain masih lemah. Banyak orang kesulitan untuk mendapatkan makanan, karena pada petang hari, warung-warung akan segera tutup. Saat itu tidak lazim, warung makan buka pada malam hari. Namun demikian, para murid terkesan tidak peduli dan tidak mau bertanggung jawab. Hal ini nampak dalam kata-kata mereka, “Tempat ini sunyi dan sudah malam. Suruhlah mereka pergi, supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa dan di kampung-kampung sekitar ini.” (bdk. Mrk 6:30-44 Mat 14:13-21 Luk 9:10-17)

Terhadap para murid-Nya, Yesus berkata, “Kamu harus memberi mereka makan!” (bdk. Mrk 6:30-44 Mat 14:13-21 Luk 9:10-17). Selanjutnya, Yesus bertanya kepada Filipus, “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” (Yoh 6,5). Yesus menumbuhkan dalam diri para murid-Nya kepekaan dan kesadaran terhadap penderitaan dan kesulitan orang lain. Yesus mengajak para murid-Nya, agar mereka peduli dan ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain. Para murid jangan sampai membiarkan mereka terkungkung dalam kesulitan dan meninggalkan mereka di dalam penderitaan.

Pesan yang hampir sama juga disampaikan Paulus kepada jemaat di Efesus. Paulus menasehati agar mereka hidup selaras dengan panggilan sebagai murid Kristus, yakni hidup atas dasar kasih, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran dan bersedia saling membantu satu dengan yang lain. Bahkan Paulus juga mengajak mereka untuk memelihara kesatuan dalam kehidupan bersama. Ajakan untuk memelihara dan merawat kesatuan itu mengalir dari ikatan Roh yang sama, dari iman, baptisan dan pengharapan yang sama.

Saudari-saudara umat Katolik yang terkasih,

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, ajakan Yesus dan nasehat St. Paulus tersebut selaras dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara kita. Ajakan Yesus kepada para murid untuk ikut terlibat dan bertanggung jawab terhadap kesulitan atau penderitaan orang lain selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan juga nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum adalah sesuatu yang mendasar dalam kehidupan manusia. Banyak orang tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang pokok dan mendasar, karena berbagai alasan. Kemiskinan merupakan kenyataan yang masih dihadapi oleh banyak orang; kenyataan yang sering mengancam dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Banyak orang tidak dihargai, direndahkan, diperlakukan tidak adil atau dikurbankan karena miskin. Orang miskin seringkali tidak mudah untuk mendapatkan dan memperjuangkan keadilan.

Ajakan Santo Paulus untuk memelihara dan merawat kesatuan kiranya juga selaras dengan nilai-nilai sila ketiga, yakni Persatuan Indonesia. Jemaat di Efesus tentu bukanlah jemaat yang homogen, seperti halnya negara dan bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia pun begitu beragam dalam hal iman atau keyakinan, agama, suku atau etnis serta budaya. Sekalipun berbeda dan beragam, Indonesia merupakan negara kesatuan, yakni: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan. Semboyan negara Indonesia adalah “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda, tetapi tetap satu. Gereja Katolik harus terlibat aktif dalam memelihara dan merawat kesatuan sebagai bangsa dan negara dengan berbagai macam cara, seperti: bergaul atau bersilaturahmi dengan tetangga; bekerjasama dengan pelbagai kelompok masyarakat, tokoh masyarakat atau pemuka agama lain, lembaga atau instansi lain dalam berbagai kegiatan kemanusiaan; mempergunakan media sosial dengan baik, yakni untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi, persaudaraan dan kerukunan dan bukan untuk menyebarkan ujaran kebencian, fitnah atau berita bohong; menyuburkan semangat kebangsaan atau nasionalisme dengan menyanyikan lagu-lagu nasional yang ada dalam Madah Bakti atau Puji Syukur sebagai lagu penutup Perayaan Ekaristi hari Sabtu dan Minggu; dsb.

Seperti halnya Yesus yang bersyukur kepada Tuhan atas lima roti jelai dan dua ikan, dan juga selaras dengan nilai-nilai dari sila pertama Pancasila, kita juga patut bersyukur kepada Tuhan atas negara dan bangsa Indonesia yang begitu kaya dan beragam dalam banyak hal; atas Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai luhur dan menjadi dasar hidup bernegara; atas para tokoh pendiri bangsa dan pahlawan nasional yang telah gugur mempertahankan kesatuan bangsa dan negara.

Akhirnya, marilah kita saling mendoakan dan meneguhkan, agar sikap peduli dan rasa tanggung jawab terhadap situasi dan kondisi bangsa dan negara semakin tumbuh dan berkembang subur di dalam diri, keluarga dan komunitas kita. Terimakasih banyak atas peran, kepedulian dan keterlibatan ibu, bapak, saudari, saudara, frater, suster, bruder, para imam, anak-anak, remaja dan kaum muda di dalam usaha dan perjuangan agar Gereja Keuskupan Purwokerto menjadi ‘Lumen Gentium’ bagi masyarakat. Semoga berkat Tuhan senantiasa menyertai kehidupan, karya dan pelayanan anda semua.

Selamat memasuki bulan kebangsan. Tuhan memberkati! Amin.

Purwokerto, 28 Juli 2018.

Tarcisius Puryatno.
Administrator Diosesan Keuskupan Purwokerto.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *